Kami pun segera berkemas. Sebelum berangkat, kami berembuk memilih jalur yang bakal ditempuh. Pertama, menggunakan jip dari Dukuh Pawuhan menuju Dukuh Bitingan, Desa Kepakisan, Batur Banjarnegara. Dari tempat itu, perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki menuju air terjun, lalu ke hutan perawan, kemudian Dukuh Sigemplong (Kabupaten Batang) dan berakhir di Kecamatan Bawang, Batang.
Jalur kedua, langsung berjalan kaki dari Dukuh Pawuhan menuju Dukuh Rejosari-Dukuh Sigemplong (keduanya masuk wilayah Kabupaten Batang), Air Terjun, Hutan Perawan, dan berakhir di Kecamatan Bawang.
Saat itu kami putuskan untuk memilih jalur pertama. Pagi itu jip yang kami tumpangi meluncur pelan, menyusuri jalan utama menuju Desa Kepakisan. Jalur yang kami pilih memang tidak dilewati angkutan umum. Dari pertigaan Dukuh Simpangan, Karangtengah, angkutan yang tersedia menuju Kecamatan Batur via Desa Kepakisan-Pekasiran hanya berupa mobil sayur dan ojek.
Semula jalan yang kami lalui mulus-mulus saja. Tantangannya juga tidak seberapa. Paling hanya ada tanjakan dan turunan tajam. Tapi benar, setelah itu medannya berat. Ketika Mulai berbelok di jalur menuju ke Dukuh Bitingan, jalan sudah tidak beraspal lagi. Jip yang mengantar kami juga harus merambat lebih pelan dan berhati-hati ketika menyusuri jalan berbatu menuju hutan perawan.
Di tengah perjalanan, kami berhenti sejenak untuk menyaksikan Kawah Sileri. Kawah dengan areal yang cukup luas itu sudah masuk kawasan Dukuh Bitingan. Kawah disebut Sileri karena airnya berwarna putih, seperti air cucian beras (
leri). Kepulan asap panas bumi yang muncul dari dalam kawah terlihat begitu menawan. Di sana juga tersedia semacam
shelter untuk wisatawan.
Setelah puas, kami segera melanjutkan perjalanan. Kanan-kiri jalur masih berupa lahan kentang. Belum juga terlihat tanda-tanda ada hutan perawan di kawasan tersebut.
Beberapa saat kemudian, sampailah kami di Dusun Bitingan. Dari tempat itu, jip yang kami gunakan, tidak bisa meneruskan perjalanan dan harus kami titipkan kepada warga setempat. Perjalanan menuju hutan perawan kami lanjutkan dengan berjalan kaki.
Melawati jalan setapak di tengah lahan kentang, pandangan kami masih mencari di mana jalur menuju hutan perawan tersebut. Memang terlihat dari atas, tiga air terjun ada di kawasan itu. Namun jalur menuju tempat yang dimaksud itu tidak mudah ditemukan.
Ternyata jalurnya memang agak "tersembunyi", tertutup oleh rerimbunan ilalang dan sulur pohon rotan. Jalan juga mulai menurun, mengikuti lereng Gunung Sipandu.
Pemandangan nan menawan hati dan membuat saya berdecak kagum terdapat di balik rerimbunan semak tersebut. Sebuah terowongan alam yang tersusun dari puluhan bahkan ratusan sulur pohon rotan, seakan menjadi gerbang penanda bahwa kami mulai memasuki kawasan hutan.
***
|
Foto bareng (yang pake baju putih namanya kak nitha) |
PERJALANAN menuju Curug Sirawe memang bak memasuki dunia baru, kawasan yang jarang dilewati orang dan jauh berbeda dari kondisi Dataran Tinggi Dieng pada umumnya. Yang ada hanya berupa jalan setapak. Bahkan tak jarang, beberapa ranting atau semak menutup jalur yang akan kami lalui.
Pemandangan yang terpampang di sepanjang jalur sungguh membuat kami merasa seperti tidak berada di kawasan Dataran Tinggi Dieng. Kawasan tersebut benar-benar tertutup rapat oleh hutan. Pandangan pun terbatas oleh pohon-pohon besar dan berbagai macam tanaman. Posisinya yang berada di lereng terjal, membuat kawasan itu belum "tersentuh" oleh pertanian intensif.
Beberapa puluh menit kemudian, kami pun hampir mencapai Curug Sirawe. Jalanan semakin terjal, bahkan kami harus benar-benar hati-hati agar tidak terpeleset. Jalur itu memang seperti jalur saat kita turun gunung. Bagi kami, tantangan itulah yang semakin menarik untuk ditelusuri. Terlebih saat air terjun sudah mulai tampak. Gemericik suara curug yang bersumber dari gabungan mata air dingin dan panas itu, membuat hati ingin cepat-cepat tiba di sana.