Begitulah kata sebagian orang, Akan tetapi saya malu. Bagaimana tidak?
Melakukan perjalanan jauh dari rumah, memanggul tas carrier besar, sepatu boot, ikat kepala dan sarung tangan. Bagi saya pribadi ada kebanggan dan kepuasan tersendiri karena sering mendaki. Dalam hati saya bersyukur pernah berkunjung di ketinggian.
Sebangga-bangganya saya dengan gunung, saya tidak bangga akan di sebut pendaki. Bukan karena pendaki itu tidak mengagumkan, apa sih saya? Saya hanya orang yang jatuh hati pada gunung dan pendaki-pendaki keren yang saya temui di perjalanan.
Dengan di bekali pengetahuan yang pas-pasan, rasa kagum saya pada para pendaki dan gunung meluap. Akan tetapi saya kini merasa kehilangan sosok-sosok idola para pendaki. Semua kini terlihat sama tas ransel, sepatu, baju, celana, buff, ikat kepala, sarung tangan, dll.
Secara fisik mereka terlihat sama. Dalam pandangan saya, pendaki yang saya temui tak ada lagi yang special. Tak lagi membuat hati saya terkagum-kagum.
Kopi, teh, tenda, gunung, teman seperjalanan, dan hal-hal yang tercipta membawa kehangatan tersendiri bagi para pendaki. Bagi kami gunung adalah tempat singgah kedua untuk para pendaki, terasa hangat seperti saat di rumah sendiri bukan?
Saya sendiri menganggap gunung sebagai rumah, akan tetapi mulai sekarang saya merasa kehilangan sosok "Rumah dan Gunung". Saya kehilangan hangatnya sapaan para pendaki yang saya temui di perjalanan. Tak ada lagi obrolan hangat dengan para pendaki tenda sebelah, ketika dingin nya malam datang. Terlalu banyak yang mendaki. Terlalu banyak yang sibuk untuk mengambil foto selfie dan mengabadikan moment indah mereka sendiri daripada beritenraksi terhadap pendaki satu sama lain. Sosok yang saya idolakan mulai memudar dan jarang kutemui. Kehangatan rumah di gunung pun sudah tak saya temukan.
Semoga bermanfaat...
Sebarkan Artikel ini